Pencarian alkimia membidani kelahiran ilmu kimia modern, menjadi cikal bakal: bagaimana mengubah elemen biasa menjadi emas yang berharga. Melalui zat mitos yang disebut batu filosof (philosopher's stone), juga diyakini menjadi obat mujarab yang menyembuhkan penyakit dan memberi iming-iming kehidupan abadi.
Bagaimana mendapatkan emas tidak dengan cara menambang?
Lebih jauh lagi, para ilmuwan menguak, makhluk sangat kecil itu mampu mengubah zat beracun klorida emas untuk memproduksi gumpalan emas. Atau dengan kata lain, bakteri itu makan racun lalu mengeluarkan "kotoran" berupa emas murni.
"Ini adalah alkimia mikroba, mengubah emas dari sesuatu yang tidak bernilai, menjadi logam mulia padat yang berharga," kata Kazem Kashefi, assistant professor mikrobiologi dan genetika molekuler, seperti dimuat Daily Mail.
Kashefi dan Adam Brown --associate professor seni elektronik dan intermedia di universitas yang sama-- menemukan, Cupriavidus metallidurans dapat tumbuh dalam konsentrasi besar klorida emas, senyawa kimia beracun yang ditemukan di alam, yang sering juga disebut "emas cair".
Mereka juga menemukan, bakteri tersebut setidaknya 25 kali lebih kuat dari yang diduga sebelumnya. Untuk menunjukkan bagaimana cara kerja bakteri itu, kedua ilmuwan membuat sebuah laboratorium portabel, sebuah seni instalasi, yang diberi nama, "The Great Work of the Metal Lover" --"karya agung pemuja logam", yang merupakan kombinasi dari bioteknologi, seni, dan alkimia.
Laboratorium portabel itu disusun dari perangkat berlapis emas 24 karat, kaca bioreaktor yang berisi bakteri. Ukurannya yang relatif kecil memungkinkan ilmuwan memamerkan cara menghasilkan emas di depan banyak orang.
Lantas, bagaimana emas bisa dihasilkan?
Menurut Brown, instalasi "The Great Work of the Metal Lover" intinya bagaimana memanfaatkan sistem kehidupan sebagai sarana sebuah eksplorasi artistik. "Ini adalah neo-alkimia. Setiap bagian, setiap detail proyek adalah persilangan antara mikrobiologi modern dan alkimia," kata Brown."
Sebagai seorang seniman, aku ingin menciptakan sebuah fenomena. Seni punya kemampuan untuk mendorong sebuah penyelidikan ilmiah."
Tapi, jangan terlalu bersemangat dengan temuan ini. Sama sekali ini bukan "penangkal" harga emas yang makin meroket akhir-akhir ini.
Meski kedengarannya menarik, biaya yang dibutuhkan untuk mereproduksi eksperimen mereka dalam skala yang lebih luas, luar biasa mahal. Tak hanya itu, kesuksesan menciptakan emas menimbulkan banyak pertanyaan: tentang dampak ekonomi dan sosial, etika yang berkaitan dengan ilmu dan rekayasa alam. Juga tentang akibatnya pada keserakahan manusia.
Instalasi "The Great Work of the Metal Lover" telah mendapat penghargaan dalam kompetisi, Prix Ars Electronica, di Austria. Di negeri itu, ia juga dipamerkan hingga 7 Oktober mendatang.
Untuk tujuan yang pertama, saat ini para peneliti mengklaim menemukan bakteri yang mendekati dengan batu filosof yang sudah lama jadi incaran. Bakteri ini mampu mengubah sebuah senyawa kimia beracun yang ditemukan di alam, menjadi sebuah material padat, solid: emas 24 karat.
Bagaimana mendapatkan emas tidak dengan cara menambang?
Kuncinya adalah sebuah bakteri. Tim dari Michigan State University menemukan, bakteri yang toleran pada logam, Cupriavidus metallidurans, ternyata dapat tumbuh dalam konsentrasi besar klorida emas (gold chloride), yang mematikan bagi makhluk yang lain.
Lebih jauh lagi, para ilmuwan menguak, makhluk sangat kecil itu mampu mengubah zat beracun klorida emas untuk memproduksi gumpalan emas. Atau dengan kata lain, bakteri itu makan racun lalu mengeluarkan "kotoran" berupa emas murni.
"Ini adalah alkimia mikroba, mengubah emas dari sesuatu yang tidak bernilai, menjadi logam mulia padat yang berharga," kata Kazem Kashefi, assistant professor mikrobiologi dan genetika molekuler, seperti dimuat Daily Mail.
Kashefi dan Adam Brown --associate professor seni elektronik dan intermedia di universitas yang sama-- menemukan, Cupriavidus metallidurans dapat tumbuh dalam konsentrasi besar klorida emas, senyawa kimia beracun yang ditemukan di alam, yang sering juga disebut "emas cair".
Mereka juga menemukan, bakteri tersebut setidaknya 25 kali lebih kuat dari yang diduga sebelumnya. Untuk menunjukkan bagaimana cara kerja bakteri itu, kedua ilmuwan membuat sebuah laboratorium portabel, sebuah seni instalasi, yang diberi nama, "The Great Work of the Metal Lover" --"karya agung pemuja logam", yang merupakan kombinasi dari bioteknologi, seni, dan alkimia.
Laboratorium portabel itu disusun dari perangkat berlapis emas 24 karat, kaca bioreaktor yang berisi bakteri. Ukurannya yang relatif kecil memungkinkan ilmuwan memamerkan cara menghasilkan emas di depan banyak orang.
Lantas, bagaimana emas bisa dihasilkan?
Brown dan Kashefi mengumpan bakteri Cupriavidus metallidurans dengan klorida emas dengan jumlah besar, meniru proses yang mereka yakini terjadi di alam. Butuh waktu selama sekitar sepekan, agar bakteri tersebut memetabolis racun dan akhirnya memproduksi bongkahan emas.
Menurut Brown, instalasi "The Great Work of the Metal Lover" intinya bagaimana memanfaatkan sistem kehidupan sebagai sarana sebuah eksplorasi artistik. "Ini adalah neo-alkimia. Setiap bagian, setiap detail proyek adalah persilangan antara mikrobiologi modern dan alkimia," kata Brown."
Sebagai seorang seniman, aku ingin menciptakan sebuah fenomena. Seni punya kemampuan untuk mendorong sebuah penyelidikan ilmiah."
Tapi, jangan terlalu bersemangat dengan temuan ini. Sama sekali ini bukan "penangkal" harga emas yang makin meroket akhir-akhir ini.
Meski kedengarannya menarik, biaya yang dibutuhkan untuk mereproduksi eksperimen mereka dalam skala yang lebih luas, luar biasa mahal. Tak hanya itu, kesuksesan menciptakan emas menimbulkan banyak pertanyaan: tentang dampak ekonomi dan sosial, etika yang berkaitan dengan ilmu dan rekayasa alam. Juga tentang akibatnya pada keserakahan manusia.
Instalasi "The Great Work of the Metal Lover" telah mendapat penghargaan dalam kompetisi, Prix Ars Electronica, di Austria. Di negeri itu, ia juga dipamerkan hingga 7 Oktober mendatang.